Strategi
Pembelajaran Sosiologi
Oleh: La Tahang
Memasuki
jenjang pendidikan selalu diawali dengan syarat nilai dan syarat tujuan yang
amat mulia. Ini merupakan salah satu perjuangan terhadap kebohongan, pembebasan
dari belenggu kebodohan dan ketidaktahuan, keangkuhan dan keacuhan yang
semuanya merupakan kejahatan terhadap hati nurani manusia sendiri. Begitu pula,
pasar pasar kerja juga penuh dengan kepalsuan yang didasari dengan mentalitas
yang buruk.
Banyaknya
contoh ketidakjujuran dalam peraktik kerja dalam melakukan pekerjaan sesuai
dengan pesanan, sengaja membiarkan kesalahan pada suatu sistem, serta pola
manajemen ”penghematan” misalnya laba yang bertentangan dengan hati nurani
bukan salah pada ilmu Ekonomi. Kesalahan ini salah satunya terletak pada
kurikulum dan strategi pembelajaran yang selama ini digunakan dalam
penyelenggaraan pendidikan di semua jenjang.
Istilah
kurikulum (curriculum) pada awalnya digunakan dalam dunia olahraga, berasal
dari kata curir (pelari) dan curere (tempat berpacu). Pada saat itu kurikulum
diartikan sebagai jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari mulai dari
start sampai finish untuk memperoleh medali/penghargaan. Kemudian, pengertian
tersebut diterapkan dalam dunia pendidikan menjadi sejumlah mata pelajaran
(subject) yang harus ditempuh oleh seorang siswa dari awal sampai akhir program
pelajaran untuk memperoleh penghargaan dalam bentuk ijazah. Dari pengertian
tersebut, dalam kurikulum terkandung dua hal pokok, yaitu: (1) adanya mata
pelajaran yang harus ditempuh oleh siswa, dan (2) tujuan utamanya yaitu untuk
memperoleh ijazah. Dengan demikian, implikasi terhadap praktik pengajaran yaitu
setiap siswa harus menguasai seluruh mata pelajaran yang diberikan dan
menempatkan guru dalam posisi yang sangat penting dan menentukan. Keberhasilan
siswa ditentukan oleh seberapa jauh mata pelajaran tersebut dikuasainya dan
biasanya disimbolkan dengan skor atau nilai yang diperoleh setelah mengikuti
suatu tes atau ujian.
Keterkaitan
tujuan pembelajarandengan kepentingan berbagai pihak terkait dengan proses
belajar mengajar. Selayaknya guru berada pada posisi “OTONOMI PROFESIONAL”
dalam melaksanakan pembelajaran sampai kepada penetapan nilai akhir yang
dicapai oleh peserta didik. Namun dalam pelaksanaannya, seringkali bertautan
dengan berbagai kepentingan termasuk kepentingan politik, pasar kerja dan
sebagainya. Dalam hal ini, misalnya persoalan politik adalah sistem irasional
dengan variabel-variabel yang kompleks dan sulit dimengerti oleh anak didik.
Namun karena strategi pembelajaran dan tujuan yang ingin dicapai terkadang oleh
para pendidik mengarahkan ke pasar kerja atau politik sehingga sangat sulit
ditebak mau kemana arah pelajaran yang diajarkan.Untuk itu diperlukan kritik
menuju pembebasan para pendidik dan anak didik dari irasionalitas menjadi
rasional serta dari ketidaksadaran menjadi kesadaran. Hal ini dikarenakan institusi
pendidikan beserta para pendidik dan pengambil kebijakan dalam bidang
pendidikan terjebak pada pemikiran irasionalitas yang menimbulkan
ketidaksadaran yang berkelanjutan.
Ini
terlihat dari pengetahuan yang didapat oleh anak didik lebih banyak dari proses
belajar mengajar satu arah bukannya partisipasi yang bersifat dialektis,
kreatifitas siswa, yang diutamakan tetapi hanya selalu menuju satu titik yaitu
nilainya “Bagus”. Para pendidik masih menganggap dirinya adalah ”dewa” yang
mengetahui segala persoalan dan permasalahan dalam proses belajar mengajar. Ini
yang memadamkan dan menumpulkan daya kritis anak didik sehingga proses
penalaran dan pengasahan dalam perenungan menjadi terabaikan bahkan hilang.
Padahal pengetahuan yang diperoleh tidak semata-mata dari proses belajar
mengajar saja, tetapi juga dari perenungan ide-ide dan pengalaman dan
pengamatan indra. Bagi para pendidik yang kurang atau tidak melakukan
perenungan ide-ide serta pengalaman dan pengamatan indra, maka strategi
pembelajarannya hanya bersifat satu arah dan pasif. Proses penajaman dari
materi yang ada tidak tergali secara optimal. Materi yang diajarkan dianggap
sebagai sesuatu yang ”DIBERIKAN” bukan didapatkan, untuk itu tidak perlu sikap
kritis terhadap materi tersebut. Akibatnya, kurikulum yang dibuat dan dijadikan
kontrak belajar antara para pendidik dan anak didik juga dianggap sebagai
sesuatu yang ”DIBERIKAN” walaupun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
sekarang ini merupakan kurikulum operasional yang harus memperhatikan kearifan
lokal.
Tumpulnya
perenungan ide-ide akan mematikan daya imajinasi, inspirasi, dan inovasi
terhadap seseorang untuk menciptakan sesuatu yang baru. Apalagi proses belajar
mengajar yang sering digunakan oleh guru selama ini juga lebih banyak menggunakan
rasio sebagai alat analisis. Proses tersebut akan memunculkan duplikat-duplikat
baru, bukan kreator-kreator yang handal dan mumpuni. Ini dikarenakan rasio yang
digunakan dalam berpikir dan menganalisis sebetulnya tidak netral dan historis
atau tidak terkait dengan masa lalu. Untuk membebaskan diri dari akal rasional
dengan mengikatkan diri pada hati nurani. Ini dikarenakan suara hati nurani
adalah suara kejujuran yang paling terdalam. Apa yang tidak sesuai dengan hati
nurani akan mengalami gejolak atau penolakan di diri. Dengan adanya hal itu,
maka dalam pembuatan kurikulum serta pelaksanaan dalam proses belajar mengajar
tidak semata-mata bertumupu pada rasionalitas semata, tetapi juga pada
perenungan ideide dengan imajinasi dan inspirasi untuk menciptakan sesuatu yang
inovasi dengan berpegang pada kata hati nurani.
Para
pendidik dan anak didik tidak sadar dibuat seolah-olah sebagai robot yang
menjalankan sistem penyelenggaraan pendidikan. Dengan kata lain, para pendidik
dan anak didik seakanakan tidak mempunyai hati, nurani dan jiwa pada diri
sendiri. Proses pendidikan diarahkan pada pendidikan yang menjerumuskan
bukannya pendidikan yang membebaskan, seakanakan pasar kerja mempunyai kekuatan
dan kekuasaan yang mendominasi para pendidik dan anak didik.
Untuk
itu, perspektif ini harus diubah dengan meletakkan manusia yang mengontrol dan
mengendalikan pasar kerja termasuk politik, bukan sebaliknya. Pendidikan yang
membebaskan merupakan upaya untuk menempatkan para pendidik dan anak didik
membuat pasar kerja yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai-nilai ini
tercermin dari kejujuran, keadilan, kasih, dan sayang, baik antara para
pendidik dan anak didik, antara institusi pendidikan dan para civitas akademik
serta antara manusia satu dengan manusia lainnya.
Untuk
mengembangkan pendidikan yang berbasis sosiologi kritis, kreativitas, dan
mentalitas harus didukung dengan strategi pembelajaran yang inovatif atau
berbeda dengan strategi-strategi yang selama ini dilakukan dalam proses belajar
mengajar dimana guru sebagai sumber satu-satunya, yang menyebabkan siswa
sebagai penonton dan guru sebagai pemain. Strategi pembelajaran sebaiknya
digunakan dengan melibatkan siswa sebagai pemain dan guru sebagai scenario.
Pasted
from <http://myfortuner.wordpress.com/strategi-pembelajaran-2/6-strategi-pembelajaran-sosiologi/>
Comments (0)
Post a Comment